Senin, 03 September 2012
Praktik Akuntansi Murabahah Jangan Bergeser Dari PSAK Syariah
tanggal 7 Agustus 2012 bertempat di hotel Aryaduta Jakarta, Ikatan Akuntan Indonesia mengadakan acara Free Pendidikan Profesional Berkelanjutan dengan tema "Penyajian Laporan Keuangan Syariah dan Akuntansi Sukuk yang dihadiri 90-an Orang Praktisi Akuntansi Syariah dengan Narasumber Dewan Standar Akuntansi Syariah M. Jusuf Wibisana
Penggunaan Metode Anuitas yang diguanakan beberapa Bank Syariah atas Pengakuan Keuntungan Murabahah secara substansi akan mengubah transaksi murabahah dari akad jual beli menjadi pinjam meminjam uang dalam Bank Konvensional
beliau menilai transaksi murabahah dapat kehilangan bentuk asalnya. menurut kaidah islam ada 4 syarat yang harus dipenuhi dari transaksi murabahah. syarat tersebut adalah :
1. adanya barang
2. penjual memiliki dan menguasai barang
3. adanya ijab kabul/kesepakatan bank untuk menjual pada nasabah dan nasabah membeli barang tersebut
4. penjual/bank harus menyampaikan berapa harga belinya, kontrak harus bebas dari riba, dan harus menjelaskan kondisi barang sebenarnya
Jusuf menuturkan bank syariah seharusnya tidak boleh meminjamkan uang kepada nasabah dan meminta nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan langsung dari penjualnya, misalnya membeli sepeda motor dari dealer. Dalam praktek, bank mewakilkan pembelian barang dari penjual kepada pembeli akhir, atau nasabah. Dalam hal ini bank dianggap sudah membeli dan memiliki barang tersebut dan selanjutnya dijual kepada nasabah dengan murabahah tangguh, atau jual dengan cicilan (instalment sales).
“Penyimpangan” atas transaksi murabahah dalam substansinya tidak berhenti sampai di sini, Jusuf berpendapat bahwa pengakuan keuntungan untuk transaksi murabahah tangguh mungkin juga tidak sesuai dengan kaidah syariah dalam jual-beli. Pengakuan laba atau
marjin murabahah yang dihitung dengan menggunakan metode effective interest rate (anuitas) secara akuntansi didasarkan pada fakta bahwa “income is earned throughout the period of loan from the balance of loan principal”. Artinya keuntungan murabahah setiap tahun diperoleh atau dialokasikan berdasarkan perkalian antara saldo terutang dari pokok pinjaman diluar marjin laba dikalikan dengan tingkat bunga efektif yang secara implisit dikenakan atas pokok pinjaman itu. Ini memang sesuai untuk pinjam meminjam uang, tapi tidak sesuai untuk jual beli barang, dimana menurut syariah marjin laba dan pokok pinjaman menyatu sebagai piutang murabahah tangguhan yang tidak terpisahkan. Penerapan kaidah syar’i ini secara konsisten menuntut pengakuan laba bukan dikaitkan dengan pokok pinjaman atau qard, melainkan dikaitkan dengan kaidah pengakuan penghasilan dalam akuntansi; yakni selaras dengan transfer risk dan reward yang melekat pada transaksi murabahah tangguh. Penerapan kaidah ini dikaitkan
dengan critical event atau kejadian terpenting dalam transaksi murabahah. Bila kejadian terpenting adalah menjual barang, dan proses penagihan
piutang sangat mudah, murah, dan tidak berisiko, marjin murabahah bahkan dapat diakui seluruhnya pada saat transaksi penjualan terjadi. Tapi bila proses penagihan (cash collection) relatif berisiko dan membutuhkan biaya administrasi yang relatif signifikan, marjin laba harus diakui proporsional dengan penagihan kas. “Ini adalah
teknik akuntansi yang benar, dan memang tidak dicontohkan pada zaman
Rasulullah atau zaman Khalifah Empat, karena waktu itu tidak ada kebutuhan
untuk menyusun laporan keuangan tahunan,” tegas Jusuf Wibisana. “Mengaitkan
alokasi atau pengakuan marjin laba dengan pokok pinjaman dengan menggunakan tingkat bunga efektif akan mengubah substansi transaksi
dari murabahah menjadi qard atau pinjaman dengan bunga. Dan ini secara substansi adalah riba. Dan riba ini tidak akan lantas menjadi halal dengan
mungubah istilah ‘tingkat bunga efektif’ menjadi ‘tingkat imbal hasil efektif’,” lanjutnya. Selain isu bahwa praktik transaksi murabahah di perbankan syariah tidak
sesuai dengan PSAK Murabahah, Jusuf juga menjelaskan perbandingan PSAK 101 versi revisi 2011 dengan PSAK 101 tahun 2008, perbandingan PSAK 101 tahun 2011 dan PSAK 1 2009, ketentuan umum penyajian laporan keuangan syariah dan akuntansi sukuk.
Jusuf mengutarakan komponen laporan keuangan pada PSAK 101 (2011) telah menggunakan istilah-istilah baru seperti laporan posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, dan laporan sumber dan penyaluran dana zakat. Sebelumnya, pada PSAK 101 (2008) istilah yang dipergunakan masih neraca, laporan laba rugi, dan laporan sumber dan penggunaan zakat. Dalam PSAK 101 per 2011 juga dikenal adanya pengungkapan permodalan yang tidak ditemukan dalam PSAK 101 per 2008. “Istilah-istilah lain seperti laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan, dan catatan atas laporan keuangan tidak mengalami perubahan,” ungkapnya.
Sehubungan dengan perbedaan PSAK 101 (2011) dengan PSAK 1 (2012), Jusuf menerangkan untuk PSAK 101 mengungkapkan laporan laba rugi komprehensif terdiri atas satu laporan, sementara PSAK 1 terdiri atas satu laporan atau bisa pula dalam bentuk dua
laporan.
Perbedaan lainnya dari kedua PSAK tersebut adalah PSAK 101 melarang pengungkapan PSAK syariah yang dianggap “misleading” di mana dalam PSAK 1 hal tersebut dapat diungkapkan.
Setelah membedah PSAK 101 (2011), Jusuf tak lupa membahas akuntansi sukuk. Jusuf mengungkapkan definisi sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak dipisahkan atau tidak terbagai) atas aset berwujud tertentu, manfaat atas aset berwujud tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada, jasa yang sudah ada maupun yang akan ada, aset proyek tertentu, kegiatan investasi yang telah ditentukan.
Sukuk mewakili kepentingan bersama dalam kepemilikan aset yang tersedia untuk diinvestasikan, baik aset nonmoneter, manfaat, jasa, atau kombinasi
ketiganya, ditambah aset tak berwujud atau aset moneter. Karakteristik lain adalah bahwa penerbitan dan perdagangan sukuk harus berdasarkan akad syariah, termasuk adanya aset atau aktivitas yang mendasari, sehingga pemilik sukuk bisa memperoleh hasil dan menanggung risiko kerugian sebagaimana tertuang dalam akad. Sementara itu pendekatan akuntansi untuk sukuk ijarah dan sukuk mudharabah umumnya tidak hanya menggunakan akad ijarah atau mudharabah, tetapi dapat dikombinasikan dengan akad lain
atau multi akad.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar